When Life Gives you Tangerines

Hidup tidak selalu memberiku jeruk manis. Kadang, ia memberiku tangerine—masam tapi segar, kecil tapi menyisakan rasa. Bukan rasa yang menyenangkan, tapi juga bukan yang menyakitkan. Ia hadir sebagai pengingat, bahwa tidak semua yang datang harus indah untuk bermakna.

Aku pernah merasa lelah. Bukan karena tak kuat, tapi karena terus-menerus berusaha terlihat baik-baik saja saat sebenarnya tidak. Pernah ada seseorang yang menjadi tempat pulang —tapi semesta mengajarkan bahwa tidak semua yang membuat kita nyaman akan tinggal selamanya.

Dan dari sana, aku mulai belajar untuk menerima. Bukan dengan amarah, bukan pula dengan air mata yang meledak-ledak. Tapi dengan diam, dengan perlahan melepaskan. Karena ternyata, tidak semua kehilangan harus dirayakan dengan tangisan. Ada kehilangan yang hanya perlu disambut dengan hening.

Tangerine itu, bagiku, adalah kenangan. Kecil, tapi membekas. Masam, tapi justru mengajarkanku bahwa hidup memang tak selalu manis. Dan itu tidak apa-apa. Aku masih bisa hidup, meskipun dengan rasa yang tak kuharapkan.

Hidup terkadang memang membuat kita marah. Marah melihat orang lain bahagia di atas penderitaan kita. Tapi bukankah dulu kita juga pernah bahagia? Dan mungkin, hidup yang adil… sedang kewalahan juga membahagiakan manusia lainnya. Manusia lain juga tidak semudah itu menjalani hidupnya—sama-sama hanya menguatkan diri agar terlihat baik-baik saja.

Standar yang manusia ciptakan sendiri sering kali membuat hidup terasa berat. Padahal hidup sebenarnya sederhana saja—jika kita tidak menaruh terlalu banyak harapan. Maka sebaik-baiknya berharap, mungkin adalah tidak berharap sama sekali. Dan saat semua terasa terlalu rumit, aku kembali ke satu hal sederhana: Cukup lakukan sesuatu hari ini yang penting untukku hari ini. 

Jadi jika hari ini aku terlihat diam, bukan berarti aku menyerah. Aku hanya sedang belajar lagi—untuk peduli seperlunya dan berharap sewajarnya. Karena dari sini aku paham… bahwa terkadang, memang tidak ada yang bisa kita pelajari, kecuali: menerima.

Tentang Seseorang

Ada kalanya kita bertemu dengan seseorang yang membawa perubahan, meskipun tak selalu dalam bentuk yang besar. Dengan seseorang ini, aku merasakan kehangatan yang berbeda, sebuah kenyamanan yang muncul setiap kali berbicara dengannya. Meskipun kami baru mengenal dalam waktu yang singkat, rasanya seperti sudah cukup lama. Setiap percakapan, setiap momen yang kami bagikan terasa natural, tanpa paksaan.

Dia cerdas, bukan hanya karena pekerjaannya, tetapi juga karena wawasan luas yang dimilikinya. Tidak jarang kami terlibat dalam diskusi panjang tentang berbagai hal—dari hal-hal ringan hingga topik yang lebih dalam, yang sering kali membuatku kagum. Rasanya, aku selalu bisa belajar sesuatu dari setiap obrolan kami.

Selain itu, dia juga sangat peduli. Selalu memperhatikan hal-hal kecil yang kadang aku abaikan. Kadang aku heran, bagaimana seseorang bisa memperhatikan sedetail itu? Tapi justru di situlah letak perbedaannya. Dengan sikapnya yang santai tapi penuh perhatian, dia selalu berhasil membuatku merasa nyaman.

Kami berbagi banyak hal. Mulai dari hobi, kesukaan pada film, hingga cerita-cerita kehidupan yang membuat kami semakin mengenal satu sama lain. Meski kami datang dari latar belakang yang berbeda, aku merasa sangat terbuka untuk berbagi banyak hal dengannya. Tidak ada rasa canggung, hanya percakapan yang mengalir begitu saja.

Momen-momen kecil bersamanya terasa berharga. Seperti saat kami pertama kali bertemu dan berbincang tanpa henti, atau ketika kami duduk bersama menikmati makanan favorit tanpa harus banyak bicara, karena kehadiran masing-masing sudah cukup. Seperti saat dia mengingat hal-hal sepele yang pernah kusebutkan, atau ketika dia dengan santai membahas sesuatu yang mungkin tak semua orang bisa aku ajak bicara.

Kadang aku merasa beruntung, bertemu seseorang seperti dia dalam hidupku. Ada banyak hal yang ingin aku jalani lebih jauh bersamanya, tapi untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati setiap pertemuan, setiap percakapan, dan setiap momen yang ada—tanpa terburu-buru, tanpa ekspektasi yang terlalu tinggi. Karena terkadang, yang terbaik adalah membiarkan segalanya berjalan dengan alami, sebagaimana adanya.

Berjalan Tanpa Peta

Kadang aku merasa bingung, tapi bukan bingung biasa. Ini seperti perasaan yang nggak bisa dijelaskan, tapi juga nggak bisa dibiarkan begitu saja. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiran, tapi aku nggak tahu harus dimulai dari mana untuk mencari jawabannya.

Bingung itu datang tanpa diundang. Hari-hari yang seharusnya berjalan biasa, tiba-tiba jadi terasa penuh dengan pertanyaan. Rasanya seperti berjalan di jalan yang tak pernah kutempuh sebelumnya, tapi aku tetap melangkah karena nggak ada pilihan lain. Pikiranku bercabang-cabang, dan nggak tahu kemana harus memilih arah yang benar.

Sering kali aku bertanya pada diri sendiri, "Kenapa sih aku bisa merasa begini?" Semua terasa jadi serba salah. Mau berpikir satu arah, tapi ada perasaan lain yang nggak bisa diabaikan. Begitu aku coba menjernihkan pikiran, jawabannya malah semakin samar. Bingung, lagi dan lagi.

Pernah aku merasa, mungkin kalau aku diam dan tidak terlalu memikirkannya, semuanya akan kembali normal. Tapi nyatanya, rasa bingung itu hanya semakin tumbuh. Aku merasa seperti berada di tengah kabut, dan kabut itu nggak kunjung hilang.

Kadang aku berharap bisa menemukan jawaban secepatnya. Kadang aku berharap bisa tahu apa yang harus kulakukan, apa yang sebenarnya aku inginkan. Tapi kadang aku juga merasa, mungkin jawaban itu belum waktunya muncul. Mungkin aku harus membiarkan diriku merasa bingung sebentar, sebelum akhirnya menemukan titik terang.

Bingung itu bukan hal yang buruk, mungkin. Tapi kadang, perasaan bingung itu menguras banyak energi. Dan entah kenapa, rasanya seperti ingin segera tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya.

Tapi ya, mungkin aku harus lebih sabar. Mungkin, yang aku butuhkan hanya waktu.

Senin dan Hari-Hari yang Berlalu

Semoga harimu senin terus...


Seseorang pernah berkata demikian kepadaku. Aku menemukannya di dalam bus kota yang sesak, pada suatu malam di akhir bulan Mei. Waktu itu pukul tujuh lewat empat puluh lima menit—sudah cukup malam bagiku yang jarang keluar rumah kecuali untuk urusan penting.

Hari itu adalah hari Senin yang panjang dan melelahkan. Pekerjaan di kantor menumpuk, sementara satu-satunya tugasku di rumah hanyalah rebahan. Dalam kepalaku, hanya ada satu keinginan: Aku ingin cepat pulang.

Dari halte tempatku menunggu, biasanya hanya butuh waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki santai. Lima menit kemudian, bus kota datang. Aku naik dan duduk di bangku yang berhadap-hadapan dengan penumpang lain.

Di tengah perjalanan, pria yang duduk tepat di hadapanku tiba-tiba berdiri. Awalnya, aku mengira dia akan turun. Namun, ternyata ia justru mempersilakan seorang ibu tua yang baru naik untuk duduk di tempatnya.

Aku memperhatikannya—secara terang-terangan.

Anehnya, pria itu malah balik menatapku.

Sepanjang perjalanan, dia beberapa kali mencuri pandang ke arahku. Bukan bermaksud berpikir macam-macam, tapi… apa mungkin dia mengenalku? Atau mungkin aku yang seharusnya mengenalnya?

Entahlah.

Ketika bus berhenti di halte pemberhentianku, pria itu masih memperhatikanku saat aku turun. Rasanya aneh, diperhatikan seperti itu. Tapi, alih-alih merasa risih, aku justru pulang dengan perasaan sedikit heran... dan senyum kecil di bibirku.

Tiba-tiba, hari Senin terasa berbeda. Tidak lagi sekadar hari yang melelahkan dan ingin segera dilewati begitu saja.

Pertemanan itu Ada Masanya

Aku tipe orang yang kalau dekat dengan seseorang, nggak setengah-setengah. Aku bisa benar-benar intens, ngobrol setiap hari, saling berbagi cerita, dan merasa punya koneksi yang kuat. Tapi ketika masanya sudah lewat, ya sudah. Bukan karena ada masalah, bukan juga karena nggak peduli, tapi karena hidup terus berjalan.

Dulu, banyak teman di sekolah yang rasanya begitu dekat, tapi setelah lulus, semua berubah. Masing-masing sibuk dengan kehidupannya, dan aku pun nggak pernah reach out lagi. Mereka juga nggak menghubungi aku lagi. Jadi ya, udahan aja. Bukan karena marah atau kecewa, tapi karena memang begitulah pertemanan—ada masanya.

Aku juga paham kalau isi kepala setiap orang itu semrawut, nggak semua orang punya tenaga untuk terus mempertahankan komunikasi, apalagi kalau kesibukan sudah menyita waktu dan energi. Tapi di sisi lain, kalau seseorang memang gak jelas—nggak membalas dengan energi yang sama—lama-lama kita juga jadi males, kan?

Makanya sekarang aku nothing to lose soal pertemanan. Kalau mau temenan, ya temenan yang bener. Kalau mau ketemu, bilang. Kalau gak mau, juga bilang. Daripada udah effort tapi responnya setengah-setengah, mending gak usah sekalian. Aku lebih suka konsep mirror friendship—kita effort ke orang yang effort, kita luangin waktu ke orang yang juga mau meluangkan waktunya buat kita. Jadi ya, seperlunya aja. Berteman dengan mereka yang memang masih ingin berkomunikasi, daripada capek sendiri memelihara hubungan yang makin terasa satu arah.

Karena pada akhirnya, pertemanan sedekat apapun bisa kadaluarsa. Mau nggak mau, ketika kita semakin dewasa, kita akan menjalani hidup kita masing-masing. Dan itu nggak apa-apa.

When Life Gives you Tangerines

Hidup tidak selalu memberiku jeruk manis. Kadang, ia memberiku tangerine—masam tapi segar, kecil tapi menyisakan rasa. Bukan rasa yang menye...