Cerita di Sudut Kereta
Bukan pertama kalinya aku berada di tempat ini. Setiap Kamis sore, setelah jam kuliah selesai, aku selalu bergegas pulang. Aku naik angkot dari belakang kampus menuju Stasiun Lenteng Agung, lalu menunggu kereta yang akan membawaku pulang.
Sore itu, suasana stasiun cukup ramai. Maklum, jam pulang kerja. Orang-orang berlalu lalang, sebagian terlihat terburu-buru, sebagian lainnya berdiri diam menunggu kereta. Aku juga menunggu, sampai tiba-tiba seseorang berdiri di sebelahku dan bertanya dengan ramah.
"Dek, kalau ke Tangerang naik kereta yang mana?"
Suara lembut seorang nenek terdengar di telingaku. Aku menoleh dan tersenyum, lalu menjawab, "Naik yang jurusan Jatinegara, Nek. Nanti transit di Stasiun Duri. Kalau mau, nanti bareng saya saja. Saya turunnya di Kampung Bandan."
Nenek itu tersenyum hangat. "Terima kasih, ya, Dek."
Tak lama kemudian, suara khas kereta yang mendekat mulai terdengar, diiringi pengumuman yang berulang-ulang.
"Naik ini ya, Dek?"
"Iya, Nek."
Kami pun masuk ke dalam kereta. Beruntung, seseorang langsung berdiri dan menawarkan tempat duduknya untuk sang nenek. Aku berdiri tak jauh dari sana, mengamati nenek itu yang tersenyum ramah kepada orang yang baru saja memberinya kursi.
Orang itu kini berdiri di sebelahku. Ia tersenyum dan bertanya, "Nenek kamu?"
Aku menggeleng. Ia mengangguk pelan, seolah mengerti tanpa perlu penjelasan lebih lanjut.
Kereta perlahan bergerak, menelusuri rel tua dan melewati stasiun demi stasiun. Aku masih berdiri, cukup lelah, tapi entah kenapa juga menyenangkan.
Di sudut kereta ini, aku bisa melihat banyak jenis manusia, dengan berbagai ekspresi di wajah mereka. Ada yang kelelahan, ada yang sibuk mengobrol, ada yang hanya diam menatap ke luar jendela. Aku pun mendengar percakapan kecil antara dua orang di belakangku—obrolan ringan yang tidak sengaja tertangkap oleh telingaku.
Dan di sini, di tengah hiruk-pikuk orang yang naik turun, ada satu hal yang membuatku sadar—betapa menyenangkannya melihat orang tersenyum.
Benar kata orang, bahagia itu sederhana. Kadang, hanya dengan melihat orang lain tersenyum, kita bisa ikut merasa bahagia. Tak perlu mencari kebahagiaan sampai ke ujung dunia, karena sebenarnya, kebahagiaan ada di sekitar kita. Hanya saja, sering kali kita terlalu sibuk mencari kesempurnaan, hingga lupa bahwa kebahagiaan bukan tentang kesempurnaan.
Kebahagiaan ada pada hal-hal kecil yang kita temui setiap hari. Pada senyum seorang nenek. Pada kebaikan kecil yang diberikan tanpa pamrih. Dan pada momen-momen sederhana yang membuat hati terasa lebih ringan.
Ya, kita sendirilah yang berhak menentukan kebahagiaan kita.
Dan jika boleh kutambahkan, tidak ada yang benar-benar sempurna di dunia ini—kecuali pencipta kita.