Si Manusia Egois

June 08, 2017 0 Comments A+ a-

Kemarin, aku bertemu dengan salah satu makhluk paling aneh yang pernah kutemui di bumi. Dia bisa berjalan tegak, berbicara, bahkan bisa menghabiskan semua makanan di hadapannya jika dia mau.

Tapi dia berbeda dari kebanyakan orang yang kukenal. Dia pemarah, sekaligus pemalu. Periang, tapi mudah menangis. Dia suka tertawa saat ada yang lucu, tapi juga larut dalam kesedihan saat ada hal yang menyentuh hatinya.

Dia bilang tidak suka cokelat karena terlalu manis. Mungkin karena hidupnya sendiri tidak terasa manis seperti cokelat itu. Dia juga tidak suka sayur karena rasanya pahit. Mungkin karena kehidupannya sudah cukup pahit baginya.

Dia sering menertawakan dirinya sendiri, sering bersikap jahat pada dirinya sendiri, bahkan sering menipu dirinya sendiri. Dia terlalu sombong saat mendapatkan sesuatu, terlalu lalai dalam kewajiban, dan terlalu naif hanya untuk sekadar mengakui bahwa dia rindu.

Dia tidak benar-benar menyukai apa pun di dunia ini, kecuali satu hal—hujan. Hujan membawanya pergi jauh dari kehidupan yang terasa asing baginya. Hujan juga menjadi perwakilan dari perasaan yang meluap di dadanya. Saat hujan turun, dia memilih menyendiri, bersembunyi di balik jendela kamarnya, membiarkan pikirannya mengembara bersama tetesan air yang jatuh dari langit.

Dia menyukai petrichor, aroma tanah basah setelah hujan. Tapi dia tidak pernah mau bermain di bawah hujan. Mungkin karena itu akan mengingatkannya pada masa kecil yang terlalu menyenangkan, yang kini terasa begitu jauh.

Dia sebenarnya bukan satu-satunya makhluk aneh di sudut kota ini. Ada banyak yang bisa kuceritakan. Tapi aku tahu apa yang membuatnya spesial. Ya, dia egois.

Dia sering bilang padaku bahwa aku adalah makhluk yang egois—egois dalam segala hal, hanya mementingkan diri sendiri, dan tak peduli pada orang-orang yang ia temui setiap pagi atau sore.

Ya, dia memang egois. Karena selalu menuntut perubahan pada negaranya. Karena selalu mengeluh tentang banyak hal—tentang kemacetan Jakarta yang selalu membuatnya terlambat ke sekolah dulu, dan tentang segala hal lain yang terasa salah di dunia ini.

Tapi di balik semua itu, dia tetaplah makhluk aneh yang menarik. Makhluk yang hidup dalam pikirannya sendiri. Makhluk yang mungkin, pada akhirnya, hanya ingin dimengerti.


When Life Gives you Tangerines

Hidup tidak selalu memberiku jeruk manis. Kadang, ia memberiku tangerine—masam namun segar, kecil tapi menyisakan rasa. Bukan rasa yang meny...