Laki-Laki Pembawa Payung

November 25, 2016 0 Comments A+ a-

Satu jam setelah bel pulang sekolah berbunyi, hujan tiba-tiba turun dengan deras. Mulanya hanya gerimis kecil, namun perlahan berkembang menjadi hujan yang lebat. Aku yang baru saja selesai mengerjakan tugas memilih untuk mencari tempat berteduh, dan halte yang tidak jauh dari sekolah menjadi pilihan utamaku. Aku pun berteduh di sana, bersama penjual kacang rebus dan seorang pembelinya yang memakai seragam sekolah yang sama sepertiku. Aku memilih duduk di ujung kursi halte, ingin menyendiri dari keramaian suara tukang kacang rebus dan pembelinya.

Namun, tidak pernah kusangka, tiba-tiba terdengar suara seseorang dari sampingku. Aku terkejut, bingung, karena orang itu sudah berdiri di dekatku, lalu menawarkan kacang rebus.

“Mau kacang?” tanyanya.

Aku terdiam sejenak, mengingat perkataan ibuku untuk tidak menerima makanan dari orang yang belum dikenal. Barangkali itu racun, pikirku. Aku pun menolaknya dengan ramah, menggelengkan kepala.

Tidak ada percakapan setelah itu, hanya suara kacang rebus yang sedang dikunyahnya. Seolah-olah kami berkutat pada pikiran masing-masing. Dalam pikiranku, aku mencoba mengingat siapa laki-laki yang duduk di sampingku ini. Yang kutahu, dia adalah salah satu murid di sekolah kami, karena seragam yang kami kenakan sama. Selain itu, aku tidak tahu apa-apa tentangnya.

Kesunyian itu terpecah oleh suara resleting tas yang dibuka. Dari dalam tasnya, dia mengeluarkan sesuatu. Sebuah payung!

“Kalau sudah punya payung, kenapa harus berteduh?” tanyaku padanya. Namun dia tidak menjawab, malah berdiri dan membuka payungnya lebar-lebar, seolah-olah dia akan pulang.

“Mau ikut?” tawarnya padaku.

“Enggak, makasih,” tolakku ramah. “Rumahku dekat dari sini.”

Ia mengangguk, namun kemudian bertanya lagi, "Yakin? Kamu tinggal sendiri?" Ucapannya seperti menakut-nakuti, seraya menunjuk ke jalanan depan sekolah yang sudah sepi. Memang, sekolah sudah bubar sejak satu jam yang lalu.

Aku ragu. Aku takut, tapi yang lebih menakutkan bagiku adalah berpayungan dengan orang yang baru kukenal. Dalam pikiranku, imajinasiku mulai berlarian, membayangkan hal-hal yang tidak-tidak. Meskipun laki-laki itu tampak tidak seperti seorang penculik, tetap saja aku merasa cemas.

Seolah bisa membaca pikiranku, laki-laki itu kemudian menyerahkan payungnya padaku. “Nih, pakai saja payungku. Kamu lebih membutuhkannya, kan?”

“T… tapi kamu gimana?” ucapku ragu.

“Tenang saja.” Tangannya kembali menyodorkan payung padaku. “Nih!”

Dengan terpaksa, akhirnya aku menerima payung itu. Kini payung yang sudah terbuka lebar itu berada di tanganku. Aku tidak mengerti bagaimana dia tahu jika aku sangat membutuhkannya, namun yang jelas, aku merasa berterima kasih padanya.

Aku pun menerjang derasnya hujan dengan payung yang dipinjamkan tadi. Dalam pikiranku, aku mulai berpikir bagaimana caranya mengembalikan payung itu padanya, karena aku tidak mengenalnya sama sekali.

Ah, biar nanti saja kupikirkan. Yang penting, aku bisa segera pulang tanpa basah kuyup.

When Life Gives you Tangerines

Hidup tidak selalu memberiku jeruk manis. Kadang, ia memberiku tangerine—masam namun segar, kecil tapi menyisakan rasa. Bukan rasa yang meny...